Exit Jangan Lupa Klik Like Ya

Bayang Tante Sally



Hari-hariku seakan hancur semenjak tanteku mengutarakan niatnya. Dia mau menikah dengan kekasihnya. Bukan apa-apa. Aku tahu, pernikahan yang akan dilakukan itu bukan pernikahan yang sebenar-benar pernikahan, karena aku mengetahui luar dalam bagaimana perasaan dan hati kecil tante Sally. Lagi pula, orang yang akan menjadi suami tante Sally itu adalah laki-laki yang sengaja dijodohkan oleh keluarga besarku. Aku yakin, tanteku menikah hanya karena menuruti kemauan mereka saja.

Mungkin, di depan keluargaku tante Sally dapat menyembunyikan rintihan dari balik kalbunya, tetapi tidak di hadapanku. Dia tetap tak bisa bersembunyi dariku. Berbulan-bulan ini fikiranku selalu kacau. Aku jadi benci dan tak ingin lagi melihat Tante Sally lagi, tapi aku juga rindu ingin selalu di sampingnya. Ach !

Masih kuingat jelas ketika kedatangan tante Sally pertama kali dulu, saat itu aku masih SMP kelas 2. Mamakulah yang menyuruh tante untuk tidur satu kamar denganku. Sebenarnya aku tak begitu suka waktu itu, aku menjadi tak bebas karenanya. Tapi aku tak bisa membantah keinginan Mama. Dan ternyata rasa kasih sayang yang ditunjukkan tante Sally memang membuatku begitu respek padanya, apalagi dia begitu bersemangat mengajariku beberapa mata pelajaran yang selama ini kubenci.

Aku akui, tanteku memang perempuan berotak cerdas. Mungkin, jika tanpa bimbingannya nilai ijasah SMP ku jeblok. Tapi aku menyesal kini, tante Sally lah penyebab segalanya. Aku baru tersadar setelah menyadari betapa kedatangan tanteku hanya menanamkan virus ganas dalam otakku, virus yang menghinggapiku bertahun-tahun setelahnya.

Aku menangis saat pertama kalinya tante Sally berbuat tak senonoh kepadaku.

“Tenang saja Mer, apa yang akan kaurasakan dari permainan kita ini hanya sementara saja kok, nantinya kamu akan kembali sedia kala. Jadi, nikmati saja…”

Kata-kata tante Sally itu memang terasa sejuk dan meneduhkanku, membuatku tak khawatir dengan kehidupanku di masa-masa yang akan datang. Maka apapun yang terjadi terjadilah, mama dan papaku tak akan pernah mengerti dan merasakan apa yang dirasakan oleh anak gadisnya yang masih kelas 2 SMP hingga kelak kemudian saat lulus dan melanjutkan di SMA ternama di Iakarta.

Akupun menikmatinya, dan hampir setiap malam tante Sally berpesta di atas tubuhku yang belum pernah sekalipun disentuh laki-laki. Tetapi akhirnya aku menjadi paham dengan apa yang disebut dengan kehangatan kamar. Entah mengapa aku jadi menikmati ketika bagian-bagian tubuhku yang sensitif menjadi lumatan bibir tante Sally. Entah kharisma apa yang ada di dalam diri tanteku hingga aku benar-benar menyerah dan tenggelam dalam kemesraan yang dia tularkan hampir setiap malam, dan justru akulah yang menjadi ketagihan dan sering merengek untuk mengulang dan terus mengulang, hingga kusadari keperawananku pecah pada usia ke 17, dua tahun sebelum aku lulus SMA. Ach, tante…

Tante Sally seolah tak merasa bersalah telah merenggut keperawananku dengan jari-jarinya, hingga suatu malam dia memberikanku hadiah celana mainan, ya, Celana mainan yang memiliki alat khusus, entah dari mana tanteku mendapatkannya, dan betapa bodohnya aku sungguh menikmati semua permainannya setelah itu.

Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit jiwaku berubah tanpa aku sadari hingga aku benar-benar membutuhkan tante Sally, benar-benar ingin selalu bersamanya. Aku ingin selalu berada dalam dekapannya seperti juga aku ingin selalu mendekapnya setiap malam. Kami bagaikan sepasang kekasih yang tak mungkin terpisahkan, bagai pasangan suami istri yang mengucap ikrar sehidup semati. Dan aku pun benar-benar melupakan Mas Irwan, pacarku yang tulus itu. Aku sudah tak tertarik sama sekali dengan ketampanannya. Bagiku hanya Tante Sally saja yang bisa memberi kebahagiaan.

Tetapi itu hanya sementara saja, setidaknya setelah beberapa bulan aku di kelas 2 SMA. Ternyata tante Sally ingin mengakhiri semuanya, mengakhiri segalanya denganku. Dia lebih memilih mengkhianatiku daripada menolak keinginan keluarga.

“Kenapa tante Sally harus buru-buru menikah ma…?” ucapku pada Mama. Kusembunyikan rasa pedih yang tiba-tiba menyeruak dalam hatiku.

“Ya menikah Mer, tantemu itu kan sudah 24 tahun, ya wajar dia menikah, Mama saja dulu menikah sama bapakmu saat usia 21, untuk usia 24 itu sudah wajar menikah..” ujar Mamaku, tak mengerti gejolak yang aku rasakan saat itu.

Seminggu sebelum pernikahan tante Sally, dia masih memenuhi janjinya untuk tetap melampiaskan kemesaraannya bersamaku. Dia bagaikan suamiku, juga bagai istriku yang benar-benar setia. Aku menjadi semakin membutuhkannya, semakin menghayati setiap lekuk liku tubuh tanteku sendiri. Aku benar-benar tak mau kehilangannya.

“Tante jahat!” aku merutuk ketika tante berpamitan pada hari kelima sebelum pernikahan, berpamitan untuk tidak lagi sekamar denganku. Aku tak bisa membayangkan betapa tidur di kamar sendirian tanpa belaian tante Sally lagi.

“Jangan begitu Sayang, meskipun aku nanti sudah bersuami, kita akan tetap ketemuan kok, entah gimana caranya kita rencanain yang matang…”

“Ih tante… Tante Jahat!!”

Dan aku pun tak lagi bisa berkata apa-apa selain dari mengikhlaskan saja kepergian tante Sally.

Malam pernikahan itu pun terjadi juga. Aku sangat enek dan benci melihat laki-laki yang duduk di sebelah tante di kursi pelaminan. Aku membayangkan pada malam pertama mereka itu, pastilah akan terjadi malam yang ditunggu-tunggu laki-laki itu, dan bagiku itu adalah malam jahanam, malam perselingkuhan tanteku. Malam di mana tanteku secara resmi telah mengkhianati cintaku. Tetapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa membayangkan saja bahwa akulah yang menikmati malam pertama itu menggantikan si laki-laki durjana itu.

Bodohnya aku, menjadi saksi kebahagiaan mereka tanpa bisa menghindar pemandangan kemesraan mereka di pelaminan karena aku berada di antara mereka dengan dandanan aneh yang seperti memasung kebebasanku, berkain kebaya dan berbedak tebal, menjadi pengiring atau apapun sebutan dari mamaku itu. Lagi-lagi, mamaku semakin membuatku tersiksa dengan tindakannya.

Lebih menjadi sakit lagi hati ini ketika suatu hari, pada bulan ke dua tante Sally meminta ijin pada Papa dan Mamaku untuk pergi dari rumah kami, pergi mengikuti suaminya yang ditugaskan ke luar jawa. Sebagai seorang dokter yang masih terikat ikatan dinas, suaminya harus mau ditugaskan ke luar jawa.

Dan aku…..

Sendiri di dalam sepi.

Di kelas 3 awal, aku tak lagi bisa berkonsentrasi penuh pada pelajaran. Aku merasakan sakit hati yang sangat, rasa patah hati yang sungguh besar hingga aku menjadi malas belajar. Entahlah, taman sebangkuku saja sampai bingung dan tak tahu harus bagaimana dia menghiburku. Kami mulai dekat sejak kepergian tanteku, dan kuakui teman sebangkuku ini tak kalah cantik dengan tante Sally. Sering aku mencuri pandang ke tubuhnya yang segar dan sangat menggairahkan di mataku. Setiap kali ku memandang tubuh temanku sendiri, setiap kali pula khayalan kotorku membayangkan kepolosan tubuh tante Sally. Oh Tuhan, betapa tersiksanya aku?

Kenapa aku tak kau beri kegagahan seperti halnya jiwa yang ada di dalam tubuh ini, kenapa justru kau beri aku kelembutan dan raga yang kata teman-temanku cantik? Aku sungguh tak bisa menikmati sebutan itu, aku risih. Aku lebih senang jika aku tampan, aku gagah, aku perkasa, bukan Merry yang cantik, merry yang lembut. BUKAN merry yang perempuan. Apakah Engkau sengaja memasung jiwaku di dalam tubuh ini ya Tuhan?

Temanku Rany, lambat laun curiga dengan terlalu seringnya aku bersikap cuek pada teman-teman cowok yang berusaha mendekatiku. tapi aku tetap tak berani dan tak sanggup untuk mengatakan terus terang siapa sebenarnya aku. Belum waktunya Ran, itu saja yang kukatakan dalam hatiku. Rany bukan tipe cewek yang tak peduli pada teman. Dia sepertinya care banged sama aku, dan kami pun lambat laun menjadi semakin akrab, mulailah kami belajar kelompok. Kadang di rumahku, kadang di rumah Rany. Kesibukan ini dapat mengikis sedikit rasa putus asaku meski aku harus terus menerus membayangkan saat-saat mesra bersama tanteku.

Kadang aku mencuri-curi kesempatan untuk sekedar bisa memegang tangan Rani, dan bagiku itu sudah sangat melegakan hatiku. Aku belum ingin yang lebih dari itu jika nantinya Rany harus lari dan menjauh dariku. Apa lagi jika tahu siapa aku sesungguhnya…

Lambat-laun bayang kemesraan itu kucoba ganti dengan sosok Rany temanku yang cantik, dan wajah Rany pun pelan-pelan mengisi kekosongan jiwaku.

LANJUTIN BESOK AH, CAPEK NIH…

0 komentar:

Posting Komentar


BAGAIMANA SOB KOMENTARNYA ... ?